Benarkah Mengumumkan Kematian Makruh?
Dimakruhkan
mengumumkan kematian, makudnya yaitu mengutus seorang penyeru (penyampai
berita) untuk menyerukan kepada khalayak. “fulan telah meninggal dunia, mari
kita menghadirinya (melayatnya).” Hal ini berdasarkan riwayat Hudzaifah, ia
berkata, “aku mendengar Nabi SAW melarang memberitakan kematian.”[1]
At-Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan.”
Segolongan ahli ilmu menganjurkan
untuk tidak memberitakan berita kematian kepada khalayak. Orang yang
berpendapat seperti ini adalah antara lain: Abdullah bin Mas’ud dan para
sahabatnya, Alqamah, Ar-Rabi’ bin Khaitsam, dan Amru bin Syurahbil.
Alqamah berkata, “janganlah
kalian menyakitiku dengan seseorang.”
Amru bin Syurahbil berkata, “jika
aku mati maka kematianku jangan diberitakan kepada orang lain.”
Banyak ahli ilmu berkata, “tidak
apa-apa memberitahu kepada saudara-saudara si mayit, kenalan-kenalannya, dan
orang-orang utama, namun tidak dengan cara diserukan (diumumkan).”
Ibrahaim An-Nakha’i berkata, “tidak
apa-apa bila ada orang yang meninggal lalu diberitahukan kepada teman dan
sahabatnya. Adapun yang makruh adalah berkeliling untuk kematian fulan,
sebagaiamana pengumuman kematian jahiliyah.”
Di antara yang memberikan
rukhsahah ini adalah Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Ibnu Sirin.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar,
bahwa ia diberitahu tentang kematian Rafi’ bin Khudaij, lalu ia bertanya, “apa
yang hendak kalian lakukan padanya?” dijawab, “kemi menahannya sehingga kami
mengirim (utusan) ke Quba dan kepada orang yang pernah tinggal diekitar madinah,
agar mereka dapat menghadiri (melayat) jenazahnya.” Ia berkata lagi, “baiklah,
sebagaimana pendapat kalian.”
Nabi SAW juga telah bersabda
tentang mayit yang dikuburkan pada malah hari, “mengapa kalian tidak memberitahuku?”
Diriwayatkan –secara shahih- dari Abu Hurairah, bahwa
Rasullullah SAW memberitahukan tentang kematian An-Najasyi kepada orang-orang
dihari kematiannya. Beliau lalu
berangkat ke mushalah, kemudian membariskan mereka lalu bertakbir empat kali”[2]
(HR. Muttafaq Alaih.
Dalam lafadz lain disebutkan, “sesungguhnya saudara kalian, An- Najayi,
telah meninggal, maka berdirilah lalu shalatkanlah dia.”[3]
Diriwayatkan dari Nabi SAW,
beliau bersabda, “tidaklah seseorang
diantara kalian meninggal, kecuali (agar) diberitahukan kepadaku.” Atau sebagaimana
yang beliau sabdakan.
Selain itu, banyaknya orang yang
menshalatkan akan membanyakan pahala bagi mereka dan membanyakan manfaat bagi
si mayit, karena setiap orang yang menshalatkan mendapat satu qirath pahala.
Diriwayatkan dari Nabi SAW,
beliau bersabda, “tidaklah seorang muslim
meninggal lalu dishalatkan oleh tiga shaff kaum muslim, kecuali wajiblah
(surga)[4]
Ahmad juga meriwayatkan dengan isnad
dari Abu Al Malih, bahwa ia menshalatkan jenazah, lalu berkata, “luruskan dan
beguskanlah permohonan shaff kalian. Ketahuilah, Abdullah bin Sulaith telah menyampaikan
kepadaku dari salah seorang Ummul
Mukminin, yaitu Maimunah, saudara susunya, bahwa Rasullullah SAW bersabda,
‘tidaklah seorang muslim dishalatkan oleh sekumpulan manusia, kecuali mereka akan menjadi pemberi syafaat baginya’[5]
Aku lalu menanyakan hal itu
kepada Abu Malih, tentang jumlah orang yang dimakud, ia kemudian menjawab, “Empat
Puluh.”
Sumber :
Kitab Fiqih Al Mughni Jilid 3, Ibnu Qudamah, Bagian Kitab Shalat Jenazah Halaman 430-432.
Kitab Al-Mughni berisi fikih perbandingan mazhab atau dikenal dengan syarah matan Mukhtashar Al-Khiraqi. Beliau sebut Al-Mughni sebagai salah satu ensiklopedi fikih terbesar yang memaparkan perbedaan pendapat tingkat tinggi.
[1]
HR. At-Tirmidzi (3/986), Ibnu Majah (1/1476), dan Ahmad (5/385). Al Albani
berkata “hasan.”
[2] HR. Al Bukhari didalam kitab Shahih-nya (1/124), Muslim (1/659), Abu Daud (3/320), Ibnu Majah (1/1527), dan Ahmad (2/353).
[3] HR. Muslim (2/657), At-Tirmidzi (3/1039), Ibnu Majah (1/1536), An-Nasa’i (4/57), dan Ahmad (5/376).
[4] HR. Abu
Daud (3/3166), Al Albani berkata, “Dha’if.”
[5][5]
HR. Ahmad (6/331), Disebut oleh Al
Albani didalam Shahih Al Jami’
(5762), dan ia berkata, “hasan.”