Nama Unta Berdasarkan Umur Untuk Zakat
Abu Al Qasim Al Kharqi berkata” bila mecapai dua
puluh lima ekor hingga tiga puluh lima ekor, maka zakatnya seekor Bintu makhad (unta betina berumur satu
tahun dan memasuki tahun ketiga.”
Bila tidak ada bintu makhad (unta betina berumur satu
tahun dan memasuki tahun kedua) maka
boleh dengan ibnu labun (unta jantan
berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga). Bila telah mencapai tiga puluh
enem ekor hingga empat puluh lima ekor, maka zakatnya seekor bintu labun (unta berumur dua tahun dan
memasuki tahun ketiga). Bila telah mencapai empat puluh enam ekor dan mencapai
enam puluh ekor maka zakatnya seekor Hiqqah
thuruqatul fahl (unta betina berumur tiga tahun dan memasuki tahun keempat.
Bila telah mencapai enam puluh satu
sampai tujuh puluh liam ekor, maka zakatnya seekor jadza’ah (unta betina berumur empat tahun dan memasuki tahun
kelima). Jika telah mencapai tujuh puluh enam ekor hingga sembila puluh ekor
maka zakatnya dua ekor bintu labun. Jika mencapai sembilan puluh satu hingga
seratus dua puluh ekor maka zakatnya dua
hiqqah thuruqatul fahl.
Semua ini merupaka ijma, dan khabar yang telah
kami kemukakan sesuai dengan itu. Bintu makhadh adalah unta berumur satu tahun
dan telah memasuki tahun kedua. Dinamakan demikian karena induknya sedang hamil
lagi. Al Makhadh artinya sedang
hamil, tapi kehamilan induknya bukan sebagai syarat, tetapi hanya sebagai
sebutan karena biasanya begitu, sebagaimana sebutan rubibah dengan hajar.
Begitu pula bintu
labun dan bintu makhadh yang
merupakan umur termuda yang diambil untuk zakat. Zakat berupa unta ini khusus bagi
unta yang berjumlah dua puluh lima hingga tiga puluh lima ekor. Bintu labun adalah unta betina yang
telah berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga. Dinamakan demikian karena
induknya telah melahirkan dan ia bersusu.
Hiqqah
adalah unta betina yang berumur tiga tahun dan memasuki tahun keempat. Unta
ini telah bisa dikawini dengan unta jantan, maka disebut thuruqatul fahl. Unta ini
boleh digunakan untuk membawa barang dab ditunggangi.
Jadza’ah
adalah unta yang berumur empat tahun dan memasuki tahun kelima. Dinamakan
demikian karena ia tertahan (tidak dapat makan) ketika giginya tanggal. Ini
adalah umur tertua yang diambil untuk zakat, dan ini tidak diwajibkan untuk
dizakati kecuali untuk yang berjumlah enam pulub satu hingga tuju puluh lima
ekor.
Bila si pemilik rela mengeluarkan
berupa tsaiyah maka itu juga boleh,
yaitu unta berumur lima tahun dan memasuki tahun keenam. Disebut tsaniyah karena gigi taringnya telah
tanggal. Demikianlah yang kami sebutkan tentang umur unta, sebagaimana yang
telah disebut Abu Ubaid dan yang dikemukakan dari Al Ashma’i, Abu Zaid Al
Anshari, Abu Ziyad Al Hilali, dan yang lain.
Perkataan Al Kharqi, “bila tidak ada
bintu makhadh,” maksudnya adalah bila
diantara unta-unta yang dimilikinya itu tidak terdapat bintu makhad (unta betina yang berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua), maka boleh dengan ibnu labun (unta jantan yang telah
berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga). Namun ini tidak boleh bila ia
memiliki bintu makhad , berdasarkan
sabda Nabi SAW, “jika tidak ada bintu
makhad maka dengan ibnu labun,” dalam hadits yang kami riwayatkan tadi.
Jadi, syarat bolehnya mengeluarkan ibnu
labun adalah bila bintu makhad tidak
ada.
Bila sipemilik mau membeli untuk
kemudia dikeluarkan, maka cara ini juga boleh. Tapi bila setelah membeli ia
ingin mengeluarkan ibnu labun, maka
itu tidak boleh, karena dengan pembelian itu berarti diantara unta-untanya ada bintu makhadh. Bila tidak memiliki ibnu labun(selain tidak memiliki bintu makhadh ) dan mau membeli, maka
yang harus dibeli adalag bintu makhadh (bukan
ibnu labun). Demikian pendapat Malik,
sementara Asy-Syafi’i berkata, “boleh membeli ibnu labun berdasrkan konteks khabar dan keumumannya.”
Menurut kami: keduanya sama-sama
tidak ada, maka (bila hendak membeli) yang dibeli adalah bintu makhad, sebagaimana bila sama-sama ada (maka yang dikeluarkan
adalah bintu labun).sedangkan hadits
tadi mengandung arti ada (yakni ada ibnu
labun), karena hal ini sebagai keringanan sehingga tidak perlu membeli,
namun bila tidak ada juga maka tidak pelru membelinya, sehingga membeli yang
asal (yakni bintu makhadh) adalah
lebih utama, karena pada sebagian lafazh hadits ini disebutkan, “maka barang
siapa tidak memiliki bintu makhad yangsesuai ketentuan, sementara ia memiliki ibnu labun, maka itu boleh diterima
darinya dan tidak disertai apa-apa.” Disini diisyaratkan bahwa diterimanya ibnu labun itu bila sipemilik harta memilikinya dan ia
tidak memiliki bintu makhad.
Dalam hadits Abu Bakar pada sebagian lafazh nya
disebutkan, “dan barang siapa memiliki
(unta) yang mewajibkannya (Mengeluarkan) bintu makhad namun ia tidak
memilikinya kecuali ibnu labun.” Ini
pembatasannya dengan ketentuan menyingkronkan yang mutlak (yang tanpa batas)
kepadanya. Bila hanya menemukan kecuali bintu
makhadh yang tidak sesuai ketentuan, maka boleh beralih kepada ibnu labun, berdasarkan sabda beliau, “bila tidak memiliki bintu makhad yangsesuai
ketentuan,” karena walaupun ada (jika tidak sesuai ketentuan, yakni tidak
layak untuktidak dijadikan zakat), maka dianggap tidak ada.
Karena yang demikian tidak boleh
dikeluarkan untuk zakat sehinggastatusnya seperti orang yang tidak menemukan
air kecuali air yang tidak boleh digunakan untuk berwudhu, maka ia boleh
beralih kepada tayamum. Bila memiliki bintu
makhad yang kualitasnya lebih tinggi dari yang mesti dikeluarkan, maka
tidak boleh mengeluarkan ibnu labun karena
ada bintu makhadh. Dalam kondisi ini
boleh memilih antara boleh megeluarkannya dengan membeli bintu makhadh, sesuai dengan kualitas yang diwajibkan.
Selain pada kondisi ini, tidak boleh
memberikan pilihan jenis kelamin dan dengan tambahan umur. Tidak boleh juga
mengeluarkamn hiqq (unta jantan yang
telah berumur tiga tahun dan telah memasuki tahun keempat) sebagi ganti ibnu labun (unta jantan yang telah berumur dua tahun dan telah
memasuki tahun ketiga), karena tidak boleh pula mengeluarkan jadza (unta jantan berumur empat tahun
dan memasuki tahun kelima) sebagai ganti hiqqah
(unta betina berumur tiga tahun dan memasuki tahun ke empat), bila keduanya
ada (yakni yang jantan) dan (yang betina) tidak ada.
Al Qadhi dab Ibnu Aqil berkata, “itu
boleh bila keduanya (yakni yang betina) tidak ada, karena keduanya (yang
jantan) lebih tinggi (nilainya) dan lebih utama.” Jadi, hukumnya bisa
diberlakukan pada keduanya (yakni dua cara penggantinya ini, yang tidak ada d
dalamnya nash) dengan cara diperhatikan seperti itu.
Menurut kami: tentang keduanya ini
tidak ada nashnya dan tidak benar juga mengqiyaskannya pada kasus ibnu labun sebagai ganti bintu makhadh, karena tambahan umur pada
ibnu labun terhadap bintu makhadh bisa mencegahnya dari
pemangsaan binatang buas yang kecil, bisa memakan makanan sendiri, dan
mendatangi minuman sendiri.
Sementara kelebihan ini tidak
terdapat pada pengganti bintu labun dengan
hiqqah, karena keduanya sudah mampu
melakukan itu, dan yang ada hanya perbedaan umur, sehingga tidak dapat
dipertukarkan kecuali dengan yang betina juga. Ucapan mereka (yakni Al Qadhi
dan Ibnu Aqil), bahwa ini menunjukan berlakunya hukum itu pada keduanya (yakni
dua cara penggantian itu yang tidak ada dalam nash) dengan cara diperhatikan
seperti itu.
Kami katakan: bahkan itu menunjukan
tidak berlakunya hukum itu pada keduanya [ yakni mengeluarkan hiqq (unta jantan yang telah berumur
tiga tahun dan memasuki tahun keempat)) sebagai ganti ibnu labun (unta jantan yang telah berumur dua tahun dan memasuk
tahun ketiga), atau mengeluarkan jadza’ (unta
jantan berumur empat tahun memasuku tahun kelima) sebagai pengganti hiqqa (unta betina berumur tiga tahun dan memasuki tahun keempat)]
dengan dalil khithab (mahfum mukhalaf atau
pemahaman terbaik) itu sendiri, karena yang satu itu secara khusus disebut,
sedangkan yang dua lainnya tidak disebutkan, sehingga ini menunjukan
pengkhususan hukum itu pada yang satu dan tidak berlaku pada dua lainnya.
Sumber :
Kitab Fiqih Al Mughni Jilid 3, Ibnu Qudamah, Bagian Kitab Zakat Halaman 446-450.
Kitab Al-Mughni berisi fikih perbandingan mazhab atau dikenal dengan syarah matan Mukhtashar Al-Khiraqi. Beliau sebut Al-Mughni sebagai salah satu ensiklopedi fikih terbesar yang memaparkan perbedaan pendapat tingkat tinggi.