Menyikapi Mimpi (Pemira Daring) Ketua DPM Unila
Dalam opini
ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) yang bertajuk “Mungkinkah Unila Menggelar Pemira Daring?” membuat pribadi saya cukup
bangga bagaimana tidak dalam opinya yang dimuat pers mahasiswa yakni Teknokra merencanakan
dilaksanakannya pemira tahun 2020-2021 dengan metode daring. Kebanggaan akan hal
tersebut muncul dari dua alasan sederhana dari diri saya pribadi. Pertama, selain sebagai sebuah solusi yang
pada awalnya untuk mengakali keterbatasan akibat pandemi corona, pemira daring
tersebut juga dapat dinilai sebagai sebuah inovasi. Hingga pada praktiknya
nanti dapat memutus “arus sirkuler”
pada hal tersebut adalah pemira yang dilaksanakan secara langsung setiap
tahunnya, tentu saja paling tidak akan ada penghematan dari sisi anggaran dan
kemudahan dari sisi partisipan yang akan memberikan suaranya. Kedua, pemira daring tersebut dapat
menjadi sebuah prestasi bagi mahasiswa Unila pada umumnya dan Dewan Perwakilan
Mahasiswa khususnya, sebab belum banyak kampus yang dapat mempraktikkannya . Sehingga
bila sistem pemira daring tersebut dapat dibangun dengan baik dan meminimalisir
keterbatasan bukan tidak mungkin kampus lain akan menjadikannya grand design untuk kemudian mereka
praktikan hal serupa.
Terlepas dari kebanggaan akan
rencana pemira daring, Dewan Perwakilan Mahasiswa terkesan melompat-lompat
dalam melihat permasalahan dan mencari pemecahannya. Singkatnya bila kita
gunakan sebuah asumsi “Sistem pemira daring dapat dibangun dan siap digunakan”
yang kemudian kita hadapkan dengan pertanyaan sederhana dan cukup dogmatif
dalam penyelenggaran pemilihan raya “Siapa yang akan menggunakan/memberikan
suaranya? Dan berapa besar suara total akan masuk?” analisis demikian memang
terkesan terlalu memaksa, selain kemungkinan dari asumsi tersebut sulit
tercapai seperti waktu yang cukup pendek untuk membangun sistem (Pemira daring)
tersebut juga terbatasnya data untuk menganalisisnya. Hal ini diakibatkan
pemilihan raya selalu berakhir aklmasi (lima tahun terakhir hanya sekali adanya
pemilihan) sehingga pemetaan pemilih/distribusi frekuensi pemilih (asal
fakultas, angkatan semester, ukm yang diikuti) tidak dapat dilakukan.
Sebuah permasalahan lebih khusus
politik kampus akan dapat dengan mudah diselesaikan bila permasalahan tersebut
dirumuskan dalam bentuk yang paling sederhana sesuai prioritasnya atau tingkatannya,
tanpa meghilangkan esensi atau malah menimbulkan distorsi terhadap hakikat yang
menjadi inti dari permasalahan yang dihadapi.
Kegagalan Budaya Aklamsi
Kecurigaan akan
rencana pemira daring bukan berarti tidak ada, namun publik (mahasiswa Unila)
lebih memilih mentidak apa-apa-kan
hal demikian yang dapat kita katakan tidak peduli. Sebab dalam sistem politik
kampus saat ini hampir seluruhnya terlihat baik, namun pada ikhwalnya hanya
sebatas kelompok tertentu. Seperti halnya sistem aklmasi yang turun temurun
diwariskan kemudian dibudayakan. Pada dasarnya aklamasi merupak salah satu dari
metode pemungutan suara dimana cara tersebut adalah pemungutan suara bulat
(100%) sehingga tida ada yang dirugikan. Selain itu kemungkinan yang dapat kita
kedepankan bahwa aklmasi merupan third
alternative yaitu konsep dimana setiap pihak bersepakat dalam sebuah cara
untuk mencapai tujuan, konsep tersebut merupakan konsep yang lebih moderat
setelah konsep alternatif kedua yaitu win-win
solution. Namun realitasnya dalam politik kampus Unila menyimpang dari
hal-hal tersebut, sehingga outpunya tak
lain narasi dikampus mati, pendidikan politik kampus mati dan lain sebagainya.
Penulis: Max Tollenaar.